Rabu, 21 Agustus 2013 0 komentar

Selamat Datang di Bumi Biru Kuning



“Bersama, Bersatu, Berjaya” merupakan motto Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin Makassar. FISIP merupakan salah satu dari 14 Fakultas yang ada di Universitas Hasanuddin. FISIP merupakan Fakultas yang ke-lima berdiri setelah Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik. 
Adapun visi dari Fakultas Biru Kuning ini adalah Menjadi salah satu fakultas terkemuka di Indonesia dalam pengembangan ilmu sosial dan ilmu politik melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Saat ini FISIP UNHAS dipimpin oleh Bapak Prof. DR. H. Hamka Naping. MA selaku Dekan FISIP UNHAS, Pembantu Dekan I dijabat oleh Bapak Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si, Pembantu Dekan II adalah Bapak Prof. Dr. H. Supriadi Hamdat. MA dan Pembantu Dekan III adalah Bapak Dr. H. Andi Syamsu Alam, M.Si.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNHAs memiliki 7 Jurusan atau Program Studi, yakni Ilmu Komunikasi, Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Politik, Ilmu Hubungan International, Ilmu Pemerintahan, Sosiologi, dan Antropologi. Selain Jurusan/Prodi FISIP juga memiliki beberapa Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), diantaranya Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK) Unhas (Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi), Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI), Himpunan Mahasiswa Politik (HIMAPOL) dan masih banyak lagi. Selain itu pula terdapat beberapa ekskul dan UKM yang dapat dimasuki oleh mahasiswa FISIP UNHAS.
Menghasilkan luaran yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan memiliki akhlak terpuji yang mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan dunia kerja dan msyarakat baik pada tingkat nasional maupun international merupakan tujuan berdirinya Fakultas ini.
Untuk itu Selamat Datang di Bumi Biru Kuning, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Mari Bersama, Bersatu, Berjaya ! (Reka)
Minggu, 14 April 2013 0 komentar

SEA WAVES


Sunset di Tanjun Bayang Makassar by omeng.wordpress.com

Angin tak henti-hentinya berembus menyapu sekujur badanku kini. Walapun mencoba menyeka tapi gerus angin pun terus menerpa. Aku kini sedang terduduk di sebuah bangunan yang disebut balai di Tanjung Bayang, Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti biasa suasana senja kembali menyapa yang seolah memberikan sinyal kuat untuk menuliskan sesuatu saat ini juga. Hasrat pun terlepaskan untuk menulis di depan pantai yang belum bisa dikatakan indah. Walaupun belum indah, tapi satu hal kembali terbersit dalam benakku, bagaimana sebuah ciptaan Allah Sang Maha Pencipta menyampaikan pesannya kepada ku melalui elemen-Nya. Pesan itu tepat berada dibawahku, dibawah angin-angin yang sedari tadi menggerakkannya. It’s Sea Waves.

Aku bertanya pada salah satu kerabat asal Jogja, sebut saja namanya Rasti, gadis berperangai Sulawesi dengan logat kental Jogja.

 “Mbak, apakah ombak tak pernah berhenti berombak ? “ tanyaku sambil menunjuk kearah ombak.

 “Iya, itu karena angin terus-menerus menerpanya.” Jawabnya.

“Jadi kapan dia bisa berhenti berombak ?” timpalku

“Mungkin sampai angin berhenti berhembus juga”

“Itu artinya, dia tak akan pernah berhenti dong.”
Rasti diam.

“Kasian jadi ombak, dia tak pernah berhenti walau dia tau itu melelahkan” timpalku.



Senada dan pasti, silih berganti, menggulung deru satu sama lain dan  berlomba mengejar ke tepi merupakan aktivitas ombak setiap detiknya. Mau malam,  siang, subuh, sore deru terus menggemuruh dengan bantuan semilir angin. Kegiatan seperti ini mungkin terlihat biasa seperti semestinya, tapi kalau ombak mampu berbicara, mereka mungkin bisa saja mengucapkan kata lelah, seperti manusia yang saat ini tidak pernah luput mengucap lelah dengan kesehariannya.


Bangun pagi, mandi, sarapan, kerja, macet, kerjaan menumpuk, belum beres, pulang, macet, istirahat dan tidur merupakan salah satu kebiasaan manusia yang notabene dilakukan setiap harinya. Tak ubahnya seperti ombak, rutin dilakukan dan menguras tenaga. Tapi manusia bisa saja kalah dengan ombak mengingat manusia terkadang sengaja untuk tak berombak dokarenakan berbagai alasan baik yang disengaja maupun tak disengaja. Paling tidak manusia bisa berhenti berombak sejenak dan menghela nafasnya.

Tak beberapa lama setelah aku duduk dibalai tersebut, sesosok wanita paruh baya datang sembari menawarkan jagung rebus jualannya. Seolah tak menghilangkan kesempatan, aku menyempatkan berbincang-bincang dengan Ibu ini. Sebut saja namanya Ibu Singara, ibu 7 anak dengan bersuamikan seorang supir angkutan kota ini menceritakan kisahnya selama 20 tahun berjualan di tanjung bayang. Bermula dari pertanyaanku tentang kondisi Tanjung Bayang dulu mengantarkan dia menjelaskan soal profesi yang telah lama dia geluti.

“Sudah 20 tahun saya berjualan disini. Dari pada dirumah, tidak ada kerjaan mending ke sini, jualan sambil rekreasi juga. Bisa sekalian menghilangkan stress” ungkapnya.

Guratan beban hidup memang telah tersirat peluh di wajahnya. Tapi aku menangkap sebersit kebahagiaan dan kesenangan ketika berjualan disini.

“Kadang sehari bisa meghabiskan sekitar seratusan jagung rebus, itu juga kalau lagi banyak pengunjung. Terutama seperti sekarang ini, hari sabtu jadi pengunjung biasa banyak jadi jualan juga laku.” Tuturnya yang membalas pertanyaanku tentang barang jualannya.

Ibu Singara telah menjadi saksi akan peristiwa berulang yang terus terjadi disekitar kita. Bagaimana sebuah keajaiban ciptaan-Nya mampu melakukan sinergi sebahagian rupa sehingga ini bisa tertata dengan sistem yang sempurna. Ombak dan Perjuangan Ibu Singarah dalam mengarungi kehidupan yang terus berputar seolah menyisaratkan untuk kita, manusia, agar terus menjalani hidup ini, walaupun lelah dan terkadang menyakitkan, tapi inilah hidup yang terus menerus berputar, berotasi dan berevolusi di orbit yang telah digariskan.

Bayangkan ketika ombak terpaksa berhenti dan angin tak lagi sudi untuk menggerakkannya. Seketika itu pula bumi dan semesta apa yang Allah Sang Maha Pencipta melenyapkan ciptaan-Nya dan memasuki dunia baru yang disebut kiamat. Aku tahu tak seorangpun tahu kapan pasti akan terjadi, tapi manusia seperti biasa selalu menduga dan berprasangka tentang itu. dan kalau boleh aku berprasangka, ombak, bumi, bu siarah itu bisa dihentikan sekarang juga kalau kita tak segera mencegahnya.


“Mbak Ras, aku tau bagaimana caranya agar laut itu tak lagi memiliki ombak, dan ombak akan berhenti untuk berombak.” Ungkapku ketika matahari mulai berwarna orange dan hitam diatasnya.

“Hah ? gimana caranya ? mau sedot angin sampai tak bisa berhembus lagi ?” Rasti heran

“Coba lihat”

Aku lalu menjatuhkan kulit jagung rebus yang tadi diberikan oleh bu singarah yang sekarang sudah kembali pulang kerumahnya mengingat waktu memasuki ba’da magrib kedepan ombak yang sedang datang. Lalu ku buat bendungan pasir yang diatasnya kini tertumpuk sampah-sampah kulit jagung. Dan apa yang terjadi, ombak tertutupi dan kini yang tadinya ada ombak disekitar itu, kini hilang tertimbun sampah dan dan lagi bergerak seperti ombak.

Rasti kembali terdiam.

Ini lah analogiku tadi, bagaimana sebuah sampah, sepele memang tapi bisa membuat sesuatu yang harusnya bergerak terus mampu terhenti dengan seketika. Terserah angin mau sekencang apa menyapunya, selama sampah yang menindihnya masih bertahan maka ombak riak sekecil apapun tak akan nampak.

Manusia dengan sekelumit urusannya mampu juga diberhentikan dengan sekejap. Merefleksikan sampah sebagai kejujuran contohnya. Ketika seorang manusia yang bekerja pada sebuah perusahaan ternama dengan penghasilan luar biasa, ketika melakukan suatu tindakan konyol yakni berbohong, maka apa yang dia lakukan selama berulang-ulang dan butuh pengorbanan dan perasaan lelah itu sirna seketika membrikan luka akut penyesalan dihati. Sebagaimana sebuah guci, yang pengerjaannya harus dilakukan secara terus menerus, penuh perasaan dan tenaga, seketikahancur ketika ceroboh menempatkannya ditempat yang mudah jatuh.

Laut yang tadinya berisi ombak, kini harus tertutupi oleh sampah, angin yang tadi berhembus, mulai tercemar dengan bau sampah sekitarnya, Ibu Suriah yang sudah 20 tahun berjualan terpaksa harus gulung tikar karena pelanggannya kabur dikarenakan bau busuk sampah dipantai tersebut.

Ombak memang mungkin merasa lelah, tapi satu hal yang harus kita ketahui, ombak walapun lelah tapi dia bersih, sesuatu yang pasti, tekun, disiplin dan teratur selalu ia pancarkan. Keloyalitasannya terhadap angin yang selalu membantunya pun selalu dia pegang teguh. Tinggal bagaimana agar sekitarnya itu tak merusak kesetiaannya dan tetap hidup bersinergi satu sama lain. 

“It’s still a long journey guys, kept the rotate, felt the loyality”.
Jumat, 29 Maret 2013 0 komentar

BIRD EYES



 
Senja di Universitas Hasanuddin
Senja akhirnya telah menyapa tempat ini. Gradasi warna merah kejingga dengan balutan awan sendu turut melengkapi. Entah mengapa tempat ini begitu tidak asing bagi seorang yang terasingkan seperti ku. Tempat dimana aku merasa hampir menyentuh langit dengan jemari. 

Tapi ternyata aku salah, sedari tadi seekor makhluk rupanya mampu mengalahkan ketinggian dari gedung baruga tempatku duduk kini. Makhluk itu bisa seenaaknya menyentuh dan menembus langit-langit sembari mengepakkan sayapnya. Sesekali juga menghempaskan dirinya ke bawah dan mendayu naik keatas. Seolah ingin memperlihatkan kelihaiaannya dalam terbang, burung itu tak segan-segan mempertontonkan aksinya didepanku. Dan sesungguhnya apa yang aku rasakan tak seindah burung itu rasakan dan hal ini pula lah yang membuatku iri dengan makhluk berbulu dan bersayap ini. Sesuatu yang tidak pernah akan aku dapatkan dimana seharusnya aku bisa mendapatkannya. It’s Freedom


Seorang pernah berkata bahwa kebebasan itu susah untuk didapatkan selagi manusia masih terikat peraturan. Peraturan pun takkan pernah terlepas dari kebebasan. Seolah melengkapi satu sama lain yang membuat simbiosis parasitisme menyebabkan kebebasan harus terkekang olehnya. “Bebas”. Indah memang tapi hanya sebatas indah, susah untuk dirasakan dan dinikmati. Malah semakin dirasakan dan dinimkati maka rasa kungkungan itu makin menjadi-jadi. Prinsip berbanding lurus bukan satu-satunya tetapi prinsip sakit berlipat ganda juga terkadang menjadikan “bebas” tak ada dan tak harus dirasakan.


Apalagi arti “bebas” oleh sebagian orang yang menggangap uang 1000 rupiah begitu berharga untuk membeli segenggam beras dirasakan tidak ada lagi. Bahkan harapan untuk bebas pun seolah dikubur mati dalam dimensi ingatan yang sengaja dan harus dilupakan. Rakyat miskin yang notabene banyak dijumpai di negeri yang katanya kaya ini merasa sudah terambil kebebasannya. Mungkin seandainya satu-satunya kebebasan mereka yakni bernafas harus pula diatur dengan aturan yang tidak jelas, maka rakyat miskin ini betul-betul akan musnah dengan sendirinya. Oknum-oknum biadap yang mengambil kebebasan mereka pun mulai bertebaran. Sebagai contoh, rakyat miskin yang ternyata mempunyai sebuah kebebasan untuk memiliki tanah dengan beratus-ratus hektar yang rencananya akan dia berikan pula untuk kebebasan anak cucunya tersebut raib diambil oleh oknum yang mengaku “pemilik kebebasan” dengan mudahnya mengambil kebebasan rakyat miskin dengan berbagai cara yang menurutnya “bebas” dilakukan. 


Beda halnya dengan kaum yang terstigma negatif oleh masyarakat. Berkedok menjadi diri sendiri, mereka sesungguhnya tak bebas untuk menjadi diri mereka sendiri. Para kaum transgender mungkin paling mengalami penyiksaan terhadap kata kebebasan. Para motivator yang selalu bercua-cua berkata agar menjadi diri sendiri pun malah hanya menjadi boomerang bagi mereka. Lelaki berjiwa wanita dan wanita berjiwa pria tak mampu mengalahkan benteng peraturan yang menghalangi kebebasan mereka untuk berekspresi. Banyak hal yang digali dari mereka untuk mencoba mengambil dasar dari makna kehidupannya. Sering sekali merasa bahwa Tuhan tak lagi adil untuk mereka. Ketika mencoba bebas mengikuti jiwanya, mereka malah terpenjarat sendiri disaluran negative yang berada di sekitar. Ironis memang ketika kebebasan menghantui identitas.


Sementara di dimensi lain, sekelompok manusia sepertinya punya kunci serep untuk memiliki “kebebasan” dengan mudah. Duduk manis dikursi kulit dan menunggu kebebasan datang kepadanya.  Kebebasan seperti mengalir dari banyak saluran dari segala penjuruh mata angin.  Yang sesungguhnya mereka tidak mengetahui bahwa kebebasan yang mereka dapatkan bersumber dari “kebebasan yang haram”. Koruptor. Itu lah mungkin kata yang bisa menggambarkan makhluk bertatto neraka ini. Sesungguhnya mereka dengan mudahnya mengalirkan dana-dana yang seharusnya untuk kebebasan rakyat malah di alirkan ke kebebasannya sendiri. Lupa bahwa hal itu sungguh keji. Dibanding dirinya keji, mending orang lain yang merasakan kekejiannya. Dengan kebebasan haram yang saat ini mereka dapatkan membuat mereka bisa melanglang buana ke berbagai penjuru kebebasan untuk memanfaatkan “kebebasan haram”. Tapi, satu hal yang mereka harus tahu bahwa kebebasan haram yang mereka dapatkan bisa merimbas pada kungkungan yang sangat luar biasa dari si penentu kebebasan nantinya. Itulah yang mereka tidak ketahui.


Bebas memang kata yang simple tapi luas artinya. Menghipnotis ketika mendapatkannya namun sakit ketika harus merasakan. Bebas sulit diartikan karena susah untuk dirasakan. Sedikit saja kebebasan berarti, maka saat itu pula seribu kesakitan akan dirasakan. Ironis makna sebuah kebebasan mampu menghilangkan harapan. kebebasan tidak ada yang murni, semua butuh kebebasan lain untuk membuatnya membebaskannya. Bila ditarik benang merahnya, kebebasan itu bisa berarti tak ada. Semua sudah diatur dan direncanakan. Semua telah dikungkung pada sebuah penjara peraturan. Kebebasan bisa dirasakan ketika kita merasakan melanggar peraturan.


 Dan hal ini membuka mataku bahwa kebebasan justru bersumber dari peraturan yang mengekang itu sendiri. Ketika aturan yang telah diciptakan si pembuat aturan kita langgar, disaat itu pula sebersit kebebasan akhirnya dapat dirasakan. Hanya sebersit tak untuk selamanya. Dan itulah mungkin yang mengelilingi pikiran ku sedari tadi tentang bagaimana mendapatkan sebuah kebebasan. 

 
#bird #freedom


Burung yang tadi seolah bebas pun sebenarnya ternyata tak bebas. Burung gereja kecolatan ini harus berhati-hati ketika terbang mengingat burung besar diatasnya kapan saja bisa menerkam. Dan satu hal juga yang harus diingat bahwa burung itu hanya bisa melihat dari atas tanpa merasakan dari bawah. Mereka sekedar melihat, melihat sebuah kebebasan dari udara, tanpa harus merasakannya dari bawah. Burung bisa kapan saja akan jatuh kebawah dan merasakan sakit yang luar biasa. Tapi manusia bisa saja merasakan sakit yang luar biasa dibawah tapi begitu terbang sangat merasakan kebebasan sejati walaupun hanya sekejap. That’s why, just from bird eyes view, I can felt so free.  




 
;