Senja akhirnya telah menyapa tempat ini. Gradasi
warna merah kejingga dengan balutan awan sendu turut melengkapi. Entah mengapa
tempat ini begitu tidak asing bagi seorang yang terasingkan seperti ku. Tempat
dimana aku merasa hampir menyentuh langit dengan jemari.
Seorang pernah berkata bahwa kebebasan itu susah
untuk didapatkan selagi manusia masih terikat peraturan. Peraturan pun takkan
pernah terlepas dari kebebasan. Seolah melengkapi satu sama lain yang membuat
simbiosis parasitisme menyebabkan kebebasan harus terkekang olehnya. “Bebas”.
Indah memang tapi hanya sebatas indah, susah untuk dirasakan dan dinikmati. Malah semakin dirasakan dan
dinimkati maka rasa kungkungan itu makin menjadi-jadi. Prinsip berbanding lurus
bukan satu-satunya tetapi prinsip sakit berlipat ganda juga terkadang
menjadikan “bebas” tak ada dan tak harus dirasakan.
Apalagi arti “bebas” oleh sebagian orang yang
menggangap uang 1000 rupiah begitu berharga untuk membeli segenggam beras
dirasakan tidak ada lagi. Bahkan harapan untuk bebas pun seolah dikubur mati
dalam dimensi ingatan yang sengaja dan harus dilupakan. Rakyat miskin yang
notabene banyak dijumpai di negeri yang katanya kaya ini merasa sudah terambil
kebebasannya. Mungkin seandainya satu-satunya kebebasan mereka yakni bernafas
harus pula diatur dengan aturan yang tidak jelas, maka rakyat miskin ini
betul-betul akan musnah dengan sendirinya. Oknum-oknum biadap yang mengambil
kebebasan mereka pun mulai bertebaran. Sebagai contoh, rakyat miskin yang
ternyata mempunyai sebuah kebebasan untuk memiliki tanah dengan beratus-ratus
hektar yang rencananya akan dia berikan pula untuk kebebasan anak cucunya
tersebut raib diambil oleh oknum yang mengaku “pemilik kebebasan” dengan
mudahnya mengambil kebebasan rakyat miskin dengan berbagai cara yang menurutnya
“bebas” dilakukan.
Beda halnya dengan kaum yang terstigma negatif
oleh masyarakat. Berkedok menjadi diri sendiri, mereka sesungguhnya tak bebas
untuk menjadi diri mereka sendiri. Para kaum transgender mungkin paling
mengalami penyiksaan terhadap kata kebebasan. Para motivator yang selalu
bercua-cua berkata agar menjadi diri sendiri pun malah hanya menjadi boomerang
bagi mereka. Lelaki berjiwa wanita dan wanita berjiwa pria tak mampu
mengalahkan benteng peraturan yang menghalangi kebebasan mereka untuk
berekspresi. Banyak hal yang digali dari mereka untuk mencoba mengambil dasar
dari makna kehidupannya. Sering sekali merasa bahwa Tuhan tak lagi adil untuk
mereka. Ketika mencoba bebas mengikuti jiwanya, mereka malah terpenjarat
sendiri disaluran negative yang berada di sekitar. Ironis memang ketika
kebebasan menghantui identitas.
Sementara di dimensi lain, sekelompok manusia
sepertinya punya kunci serep untuk memiliki “kebebasan” dengan mudah. Duduk
manis dikursi kulit dan menunggu kebebasan datang kepadanya. Kebebasan seperti mengalir dari banyak
saluran dari segala penjuruh mata angin. Yang sesungguhnya mereka tidak mengetahui
bahwa kebebasan yang mereka dapatkan bersumber dari “kebebasan yang haram”.
Koruptor. Itu lah mungkin kata yang bisa menggambarkan makhluk bertatto neraka
ini. Sesungguhnya mereka dengan mudahnya mengalirkan dana-dana yang seharusnya
untuk kebebasan rakyat malah di alirkan ke kebebasannya sendiri. Lupa bahwa hal
itu sungguh keji. Dibanding dirinya keji, mending orang lain yang merasakan
kekejiannya. Dengan kebebasan haram yang saat ini mereka dapatkan membuat
mereka bisa melanglang buana ke berbagai penjuru kebebasan untuk memanfaatkan
“kebebasan haram”. Tapi, satu hal yang mereka harus tahu bahwa kebebasan haram
yang mereka dapatkan bisa merimbas pada kungkungan yang sangat luar biasa dari
si penentu kebebasan nantinya. Itulah yang mereka tidak ketahui.
Bebas memang kata yang simple tapi luas artinya.
Menghipnotis ketika mendapatkannya namun sakit ketika harus merasakan. Bebas
sulit diartikan karena susah untuk dirasakan. Sedikit saja kebebasan berarti,
maka saat itu pula seribu kesakitan akan dirasakan. Ironis makna sebuah kebebasan
mampu menghilangkan harapan. kebebasan tidak ada yang murni, semua butuh
kebebasan lain untuk membuatnya membebaskannya. Bila ditarik benang merahnya,
kebebasan itu bisa berarti tak ada. Semua sudah diatur dan direncanakan. Semua
telah dikungkung pada sebuah penjara peraturan. Kebebasan bisa dirasakan ketika
kita merasakan melanggar peraturan.
Dan hal
ini membuka mataku bahwa kebebasan justru bersumber dari peraturan yang mengekang
itu sendiri. Ketika aturan yang telah diciptakan si pembuat aturan kita
langgar, disaat itu pula sebersit kebebasan akhirnya dapat dirasakan. Hanya
sebersit tak untuk selamanya. Dan itulah mungkin yang mengelilingi pikiran ku
sedari tadi tentang bagaimana mendapatkan sebuah kebebasan.
Burung yang tadi seolah bebas pun sebenarnya
ternyata tak bebas. Burung gereja kecolatan ini harus berhati-hati ketika
terbang mengingat burung besar diatasnya kapan saja bisa menerkam. Dan satu hal
juga yang harus diingat bahwa burung itu hanya bisa melihat dari atas tanpa
merasakan dari bawah. Mereka sekedar melihat, melihat sebuah kebebasan dari
udara, tanpa harus merasakannya dari bawah. Burung bisa kapan saja akan jatuh kebawah
dan merasakan sakit yang luar biasa. Tapi manusia bisa saja merasakan sakit
yang luar biasa dibawah tapi begitu terbang sangat merasakan kebebasan sejati
walaupun hanya sekejap. That’s why, just
from bird eyes view, I can felt so free.